Desa Gintangan, Kecamatan Blimbingsari, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur cukup lama dikenal sebagai sentra pembuatan kerajinan bambu. Identitas bambu tersebut semakin kuat dengan Festival Bambu yang digelar selama tiga hari sejak 11-13 Mei 2017. Pada festival yang masuk dalam agenda Banyuwangi Festival tersebut, dipamerkan produk kerajinan anyaman bambu serta karnaval dengan menggunakan kostum yang terbuat dari bambu. (BACA: Saulak, Tradisi Pra-nikah nan Mistis Suku Mandar di Banyuwangi) Kepala Desa Gintangan, Rusdianah, kepada KompasTravel, Sabtu (13/5/2017) menceritakan nama Gintangan berasal dari kata "Gontangan" yaitu alat untuk membawa air yang terbuat dari bambu.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Gintangan, dari Pelarian Perang sampai Bambu untuk Kerajinan", https://travel.kompas.com/read/2017/05/15/090300927/gintangan.dari.pelarian.perang.sampai.bambu.untuk.kerajinan.
Penulis : Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati

Festival Bambu Gintangan yang digelar Desa Gintangan, Kecamatan Blimbingsari, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur menjadi media pembuktian kualitas produk kerajinan anyaman bambu warga setempat. Hasil kreasi mereka berupa kostum berbahan bambu berbagai tema ditampilkan dalam karnaval meriah yang digelar pada Minggu (6/5).
Sebanyak 60 peserta karnaval memperagakan kostum bambu masing-masing dalam tarian mengikuti musik pengiring. Komponen-komponen kostum mereka seperti rantai ring bambu, sayap anyaman bambu, bagian ekor atau aksesoris di bagian pinggang turut bergoyang mengikuti gerakan sang peraga.
Dengan iringan musik tradisional dan modern yang menghentak secara bergantian, mereka tampil di depan segenap pejabat dan ribuan penonton yang memadati jalan utama Desa Gintangan. Salah satu perancang kostum, Anton (32), mengaku baju bambu yang dibuatnya lengkap dengan mahkota dan sayap, memiliki berat 25 kilogram.
Kostum yang dibuatnya selama sepekan itu terinspirasi dari penampilan raja-raja dahulu di Pulau Jawa yang dilihatnya dari film di televisi. Dari itu dia berusaha membuat baju yang megah dengan mahkota susunan bambu yang mengerucut ke atas. Dia juga berusaha membuatnya gagah dengan memberikan komponen kostum di bagian pundak.
Kostum yang dibuat Anton terdiri dari anyaman bilah bambu, bilah bambu tipis dengan panjang berbagai ukuran, matras, bambu runcing pendek, hingga ring dari bambu kecil gelondongan yang digergaji. Bekas gergaji yang biasanya tidak rapi tak nampak karena detailnya pengerjaan.
"Paling sulit buat rantai dari ring bambu bulat. Apalagi buat ring bambu yang bentuk elips, gergajinya harus miring," kata pemuda Gintangan yang sekarang memiliki usaha konveksi itu.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banyuwangi, Muhammad Yanuar Bramuda mengatakan, gelaran Festival Bambu Gintangan kali ini jauh lebih baik dari tahun lalu. Panitia acara dan peserta telah mendapatkan pendampingan dari tim penyelenggara Banyuwangi Etno Carnival (BEC) Pemkab Banyuwangi. Beberapa kostum terbaik juga akan diikutsertakan dalam BEC yang akan digelar akhir Juli 2018.
"Kita ingin orang ke Gintangan tidak hanya membeli oleh-oleh kerajinan bambu. Tapi mereka diharapkan menginap untuk mengeksplore kerajinan anyaman bambu, berlatih, menikmati kulinernya, dan kebudayaannya," kata Bram.
Sementara itu, sebelumnya Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan berencana mengundang pelatihan anyaman bambu dari luar daerah hingga luar negeri. Dia mengatakan langkah itu perlu demi memperbarui kemampuan menganyam masyarakat Gintangan pada model-model kerajinan bambu modern.
"Target kami ada generasi baru yang menekuni kerajinan, sehingga tidak hanya yang sepuh. Karnaval ini juga untuk mengasah kemampuan para pengrajin dalam berkreasi dengan bambu mereka," kata Anas.
Kepala Desa Gintangan Rusdianah mengatakan, 2 bulan terakhir warga desanya telah melakukan ekspor 15 kontainer kerajinan bambu ke luar negeri. Desa dengan penduduk sebanyak 2.224 keluarga itu, 35 persennya merupakan pengrajin bambu.
"Setelah ada festival warga pengrajin anyaman bambu semakin semangat. Dulu setelah produksi bingung cari pembeli, sekarang mereka tinggal tunggu pesanan di rumah. Total omzet miliaran rupiah per tahun," kata Rusdianah.
Desa Gintangan, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi, terkenal dengan sentra produksi kerajinan bambu. Sejak tahun 1980-an di Desa Gintangan sudah memasok kerajinan bambu seperti tempat buah, tudung saji, tempat kue, parcel buah dan lain sebagainya.
Menariknya meski menjadi desa penghasil kerajinan bambu, di Desa Gintangan sendiri tidak terdapat bambu. Terutama jenis bambu apus yang dibutuhkan untuk bahan kerajinan di sana. "Di sini ya ada bambu tapi jenisnya lain, tidak bisa untuk kerajinan membuat songkok ini. Kami mengambil bahan bambu dari desa Sempu," ujar salah satu pengrajin songkok dari anyaman bambu, Untung Hermawan (45) kepada Merdeka Banyuwangi, Kamis (17/11).

Sebagai pengrajin songkok berbahan anyaman bambu di Desa Gintangan, Untung sudah berhasil memproduksi minimal 500-700 songkok anyaman bambu per minggu. Ia menjelaskan dirinya merupakan salah satu pengrajin generasi kedua di Gintangan. Sebelum tahun 1980-an di Desa Gintangan sebenarnya sudah membuat kerajinan bambu.
"Sebelum tahun 80-an sudah ada produksi barang-barang tradisional, tenong, irig, kukusan. Kalau ini gak butuh bambu khusus, cukup dari bambu sekitar desa sini," jelasnya.
Baru pada tahun 80-an ada beragam inovasi baru yang dipopulerkan oleh Pak Waras dan Matrawuh. Mereka berdua merupakan generasi pertama yang coba mengembakan kerajinan bambu untuk meningkatkan nilai jual. Salah satu murid yang diajari menganyam yakni Untung sendiri.
"Saya generasi ke dua. Mereka sesepuh pengrajin sini. Saya berguru kepada mereka berdua. Lama-kelamaan untuk kerajinan ini butuh bambu apus," kata Untung.
Sebelumnya, ia hanya membuat kerajinan seperti keranjang dan tempat buah. Baru pada tahun 2012, Untung membuat kerajinan songkok sejak. Saat ini dia sudah memiliki 40 pekerja ibu-ibu rumah tangga yang kebagian tugas menganyam lembaran tuntrum dengan berbagai motif. Lembaran anyaman ini lah yang kemudian dibentuk menjadi songkok.
"Pekerja bagian pembentukan ada 6 orang, kalau penganyam sekitar 40 orang. Ibu-ibu rumah tangga yang nganyam lembaran," ujar dia.

Mereka rata-rata menghasilkan satu lembar anyaman tiap harinya. Untung menghargai Rp 13 ribu per lembar. Sedangkan untuk harga jual songkok yang sudah dipernis dan siap pakai senilai Rp 25 ribu per biji.
"Mereka duduk-duduk (pekerja) sambil buat songkok gini, sudah bisa dapat Rp 100 per hari. Belum kalau itungan lemburnya bisa sampai Rp 130 ribu," kata Untung.
Pekerja bagian pembentukan minimal dalam sehari bisa membuat 30 songkok. Permintaan Songkok sebagian besar ke Madura, Jombang, Kediri dan tempat-tempat seperti pondok pesantren dan wisata religi. Ia mengaku masih membutuhkan banyak pengrajin untuk membuat lembaran anyaman bambu truntum. Terutama untuk memenuhi permintaan pasar yang membutuhkan produksi sampai ribuan. "Pengrajinnya masih kurang. Jadi belum berani saya menerima permintaan pasar dalam jumlah ribuan," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar